google-site-verification=dWnVtB9sFVvOx3Xy2K6f1aUiGctW39aZpeHxLmCftBY GEGER CAGAR ALAM KAWAH IJEN MERAPI UNGUP UNGUP - Ihsannudin

Breaking

Sabtu, 22 Agustus 2020

GEGER CAGAR ALAM KAWAH IJEN MERAPI UNGUP UNGUP

Salah Satu Kegiatan Jambore Daerah Kader Konservasi di Kawasan Kawah Ijen


Beberapa waktu lalu penggiat konservasi dikejutkan dengan kabar adanya perubahan status sebagian kawasan Cagar Alam (CA) Kawah Ijen Merapi Ungup Ungup menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Merujuk pada UU 5/1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, CA adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Status CA ini dinilai sangat berpihak pada kepentingan konservasi karena hanya memungkinkan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Sementara TWA adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Pada kawasan TWA ini selain memungkinkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya juga memungkinkan aktivitas wisata alam. Adanya aktivitas wisata alam inilah yang disoal para penggiat konervasi karena dinilai akan mengganggu eksistensi kawasan. 


Kehebohan perubahan status sebagian kawasan CA Kawah Ijen Merapi Ungup Ungup ini bermula dari undangan BBKSDA Jawa Timur kepada 28 elemen masyarakat terkait dengan Konsultasi Publik Dalam Rangka Penataan Blok CA dan TWA Kawah Ijen Merapi Ungup Ungup pada 12 Agustus 2020 di Hotel Aston Banyuwangi. Dalam Konsultasi publik tersebut disebutkan sebagian CA Ijen Merapi Ungup Ungup dirubah menjadi TWA seluas 214,12 Ha berdasarkan SK Men LHK 318/MENLHK/SETJEN/PLA.2/2020 Tertanggal 30 Juli 2020. 

Dokumen Konsultasi Publik
Sumber: Peserta Konsultasi Publik


Konsultasi Publik

Sebenarnya, apa itu konsultasi publik? Konsultasi publik ini adalah rangkaian  kegiatan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang merujuk pada Perdirjen KSDAE No P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016.  Konsiderannya adalah: a) PP 28/2011 tentang Pengelolaan KSA  dan KPA sebagaimana telah diubah dengan PP 108/ 2015 tentang Perubahan Atas PP 28 /2011; b) Permen LHK P.76/MenlhkSetjen/2015 Tentang Kriteria Zona Pengelolaan TN dan Blok Pengelolaan CA, SM, Tahura dan TWA. 


Ruang Lingkup Perdirjen KSDAE P11/2016, tahapannya meliuti: a) persiapan; b) Pengumpulan dan analisis data dan informasi; c) Penyusunan rancangan dan konsultasi publik; dan d) Penyerahan dokumen rancangan. Dalam tahap Persiapan terdapat pembentukan tim kerja; dan Penyusunan rencana kerja. Hal ini penting dikritisi karena   harus ada kerangka pemikiran rancangan zona dan blok pengelolaan serta metode yang digunakan.  Sementara dalam tahap Pengumpulan dan analisis data dan informasi: 1) Harus ada paparan inventariasasi potensi kawasan (hayati dan non hayati);   2) Harus ada kajian pustaka, studi, penelitian dan berbagai referensi lain mencakup informasi spasial dan non spasial aspek: kawasan, pengelolaan kawasan konservasi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat sekitar, permasalahan pengelolaan, serta keterkaitan kawasan konservasi dengan pembangunan ditingkat nasional dan daerah. Adapaun tahapan Penyusunan rancangan dan konsultasi publik setidaknya memuat: a)     deskripsi kawasan; b)  analisis dan pembahasan; c)  deskripsi masing-masing zona pengelolaan atau blok pengelolaan; dan d)   lampiran.Terakhir tahapan penyerahan dokumen rancangan dengan melakukan: 1) pembentukan tim kerja; dan 2) penyusunan rancangan kerja. 


Dalam hal ini hemat saya, selayaknya publik atau undangan konsultasi publik ini telah memahami seluruh proses tersebut dilakukan. Terpenting adalah publik selayaknya dapat mengakses dokumen Pengumpulan dan Analisis Data dan Informasi dan dokumen Rancangan dan Konsultasi Publik. 

 

Gambaran CA Kawah Ijen Merapi Ungup Ungup

Berdasarkan laman BBKSDA Jatim (https://bbksdajatim.org/cagar-alam-kawah-ijen-merapi-ungup-ungup-2 ) diperoleh dasar ditunjuknya CA berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.46 tanggal 9 Oktober 1920 Stbl No.736 dengan luas 2.560 ha. Perkembangannya pada 10 Desember 1981 melalui SK Menteri Pertanian No.1017/Kpts-II/Um/12/1981 menetapkan sebagian kawasan CA Kawah Ijen seluas 92 ha menjadi Taman Wisata Alam Kawah Ijen dan sisanya 2.468 ha tetap sebagai CA. 

 

CA Kawah Ijen Merapi Ungup Ungup memiliki urgensi untuk memperoleh perlindungan. Kekayaan keragaman hayati baik flora dan fauna serta fungsi ekologis lainnya sangat luar biasa. Terkait dengan flora, ketinggian 700-1000 Mdpl didominasi pohon-pohon famili Fagaceae, Magnoliaceae, Ericaceae, Hamamelidaceae serta Coniferae.  Ketinggian 1.000 – 2.500 Mdp (high Montane Rain Forest atau Hutan Hujan Pegunungan Tinggi)  dijumpai kombinasi famili vegetasi di Hutan Hujan Pegunungan dan Hutan Hujan Sub Alpin dengan vegetasi dominan Compositae (Eidelweiss) dan Ericaceae (Vaccinium). Pada ketinggian 2.500 – 4.000 Mdp (Sub Alpin Rain Forest atau Hutan Hujan Sub Alpin) merupakan tipe vegetasi Hutan Hujan Sub Alpin di kawasan CA/TWA Kawah Ijen, yaitu di daerah Gunung Merapi yang mempunyai ketinggian sekitar 2.800 m dpl. Vegetasi didominasi oleh tumbuhan semak dan perdu. Terdapat juga Hutan Pegunungan Kering dan Semak Alpin. Hutan Pegunungan Kering didominasi Cemara (Casuarina junghuniana) dengan rumput penutup di dasar. Sedangkan Semak Alpin berada di atas garis tumbuh pohon pada gunung-gunung yang paling tinggi. Semak seperti ini biasanya didominasi suku Ericaceae, misalnya Vaccinium dan tumbuhan seperti Schima, Potentilla serta Hypericum. Telah teridentifikasi 86 jenis flora di kawasan CA Kawah Ijen yang terdiri dari semak, epifit, perdu, tumbuhan bawah, pohon dan rumput. Jenis pohon yang mendominasi adalah Cemara (Casuarina junghuniana) yang sebarannya merata dan merupakan ciri khas vegetasi dataran tinggi.

 

Terkait fauna, beberapa jenis satwa yang dapat dijumpai antara lain Macan kumbang/tutul (Panthera pardus), Kucing hutan/ Macan rembah (Felis bengalensis), Ajag (Cuon alpinus), Lutung jawa (Trachypithecus auratus), Tupai terbang (Petaurista elegan), Tupai tanah (Lariscus insignis) dan Tupai pohon (Scuridae), Kijang (Muntiacus muntjak), Jelarang (Ratufa bicolor), Babi hutan (Sus verrucosus), Banteng (Bos javanicus), garangan (Herpectes javanicus) dan Luwak (Paradoxurus hermaproditus). Terdapat 107 jenis burung, 21 jenis merupakan jenis endemik. Burung endemik tersebut antara lain ; Walik kepala ungu (Ptylinopus porphyreus), Cekaka jawa (Halcyon cyanoventris), Sepah gunung (Pericrocotus miniatus), Cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus), Kipasan bukit (Rhipidura euryura) dan ayam hutan hijau (gallus varius). Data Statistik BBKSDA Jatim menyebut arah prioritas pengelolaannya sebagai habitat elang jawa yang merupakan satwa prioritas dalam peningkatan populasi berdasar SK Dirjen PHKA No. 200/IV/KKH/2015. Kawasan ini juga dinilai menjadi kawasan penghubung jalur harimau jawa dari Maelang – Gunung Suket – Jampit – Raung. Bahkan lebih luas, kawasan Ijen sebagai penghubung populasi karnivora Baluran – Meru Betiri via Maelang – Merapi – Ijen – Jampit – Raung – Gumitir – Betiri (Ihsannudin. 2019. Mongabay).

 

Sementara kawasan ini juga memiliki fungsi ekologis lain yang menunjang kehidupan manusia. Sebut saja kelangsungan sumber air dan  perlindungan kebencanaan. 

Kawasan Kawah Ijen
Sumber: bbksdajatim.org


Pertanyaan


Hal yang mengganjal adalah apakah  konsultasi publik tersebut  merupakan kelanjutan dari Kepmen LHK Nomor SK 27/Menlhk/Setjen/KSA.0/1/2019 Tentang Pembentukan Tim Terpadu Penelitian Usulan Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan dari Kawasan CA Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup menjadi kawasan TWA di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso Provinsi Jatim?? Dimana Kepemen ini adalah respon atas: pertama Nota Dinas Dirjen KSDAE No ND.178/KSDAE/PIKA/KSA.0/8/2017 Tertanggal 14 Agustus 2017 Tentang Pengajuan usulan Perubahan fungsi kawasan CA Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup Seluas ± 256,289 menjadi TWA di Kabuupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. KeduaSK Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan No S.969/PKTL/KUH/OTL.0/7/2018 Tertanggal 30 Juli 2018 Tentang Pembentukan Tim Terpadu Penelitian Usulan Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan dari Kawasan CA Kawah Ijen dan Merapi Ungup Ungup menjadi Kawasan TWA di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso. 

Paradoks

Para penggiat konservasi memiliki dugaan upaya perubahan status sebagian kawasan CA ini adalah upaya keberpihakan pada pengembangan aktivitas wisata di Kawah Ijen. Sebaiknya perlu dikaji terkait definisi ekowisata. Konsensus internasional sebagaimana dinyatakan The International Ecotourism Society (2018) ekowisata adalah perjalanan / berwisata di alam yang mampu mengkonservasi lingkungan secara berkelanjutan, melibatkan masyarakt lokal dan memuat interprestasi dan edukasi. Dalam perspektif konservasi (Conservation Tourism) dinyatakan sebagai  wisata komersial yang berkontribusi positif dan signifikan secara ekologis terhadap konservasi keanekaragaman hayati yang efektif (Buckley. 2010). Permendagri 33/2009 Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah, disebut definisi Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Sayangnya Permen LHK No P.8/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2019 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya,Dan Taman Wisata Alam ; Justru tidak menyebut aspek konervasi dan pemberdayaan masyarakat lokal dimana disebut Wisata  Alam  adalah  kegiatan  perjalanan  atau  sebagian dari  kegiatan  tersebut  yang  dilakukan  secara  sukarela serta    bersifat    sementara    untuk    menikmati    gejala keunikan   dan   keindahan   alam   di Kawasan   Suaka Margasatwa,  Taman  Nasional,  Taman  Hutan  Raya, dan Taman Wisata Alam. 

Garis besarnya, dalam ekowisata ada tanggung jawab ekologi (keberlanjutan/ kelestarian) dan Pemberdayaan masyaralat lokal. Sayangnya kegiatan ekowisata dalam lingkup nasional pengelolaanya masih menyimpan paradoks (Ihsannudin. 2020). PertamaKerusakan di kawasan konservasi: meski bukanlah tertuduh tunggal namun kerusakan di taman wisata alam saat ini mencapai 4.210,3 Ha dan taman nasional 765.442,29 Ha cukup menjadi alarm. Belum lagi di kawasan suaka margasatawa yang memungkinkan dijadikan wisata sebagaimana PP 36/2010, serta kawasan lain semacam Perhutani dan kawasan yang dikelola masyarakat. Serasa tak cukup, ekowisata juga merambah kawasan Cagar Alam yang seharusnya steril aktivitas wisata. KeduaSampah yang masih menjadi momok kelestarian. Catatan Crisdianti, ada 1.132,63 m3/tahun sampah bersumber dari wisatawan dan pelaku usaha di kawasan laut pasir Taman Nasiona Bromo Tengger Semeru pada 2017. Ketiga, masih terjadi pola wisata masif  tanpa batasan masih terjadi di kawasan ekowisata (mass tourism). Hingga 2017, fasilitas pembatasan pengunjung baru 22,77% di ekowisata berbasis alam dan hanya 19,57% di ekowisata berbasis air. Sebenarnya apresiasi layak diberikan kepada Taman Wisata Alam Kawah Ijen yang membatasi pengunjung 1000 orang/ hari dan satu hari tutup per-bulannya yaitu setiap jumat pekan pertama. Penutupan selain untuk pemulihan alami  juga untuk bersih gunung atau dikenal “jum’at rijik”. Sayangnya, upaya baik ini akan menjadi ternoda dengan langkah yang cenderung menganut pola wisata masif  berupa upaya perluasan Taman Wisata Alam. Konsekuensinya, sekitar  256,289 Ha kawasan Cagar Alam Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup akan tercaplok. Keempat, aspek pelibatan masyarakat lokal juga masih jauh dari panggang. Survey BPS (2017), sektor swasta mendominasi pengelolaan ekowisata berbasis alam (68,50%) maupun yang berbasis air (95,77%). Kondisi justru diperparah dengan indikasi menguatnya cengkeraman korporasi. Inisiasi pembangunan cable car di Taman Wisata Alam Ijen contohnya. Jika benar terwujud, dikhawatirkan mematikan keterlibatan masyarakat lokal seperti pendorong troli, pemandu serta pendukung lain. 

SDGs

Upaya perubahan status ini selayaknya juga memikirkan relasi Pembangunan Berkelanjutan Nasional yang menganut atau SDGs (Sustainable Development Goals). Sebagaimana diketahui, SDGs terdiri atas 17 Goals: 1) Menghapus kemiskinan; 2) Mengakhiri kelaparan; 3) Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan; 4) Pendidikan Bermutu; 5) Kesetaraan Gender; 6) Akses air bersih dan sanitasi; 7) Energi bersih dan terjangkau; 8) Pekerjaan layak dan pertumbuhan; 9) Infrastruktur industri dan inovasi; 10) Mengurangi ketimpangan; 11) Kota dan komunitas berkelanjutan; 12) Konsumsi dan Produksi yang bertanggungjawab; 13) Penanganan perubahan iklim; 14) Menjaga ekosistem laut; 15) Menjaga ekosistem darat; 16) Perdamaian, keadilan dan kelembagaan kuat; 17) Kemitraan untuk mencapai tujuan. 


Terlebih pada Perpres No  59 /2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan; dalam lampirannya disebut: a). Tujuan ke-15:  Melindungi, merestorasi, dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan degradasi lahan, serta menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati. b). Tujuan Ke-16: Menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan. 


Uraian ini mengimplikasikan, tidak perlunya dilakukan perubahan status sebagain kawasan CA menjadi TWA. Kawasan TWA yang telah ada masih sangat berpihak pada kepentingan ekonomi yang kuat tanpa meninggalkan kaidah pembangunan berkelanjutan. Ini tentunya bila dikelola dengan prinsip ekowisata yang benar-benar konsisten.   

Salam Lestari!!!



 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar